Bagaimana Memperlakukan Orang Tua
Upaya penghancuran keluarga Muslim telah berhasil menghancurkan nilai-nilai agung dan sakral dalam hubungan anak dan orangtua, yang biasa dikenal dengan birr al-wâlidayn. Lalu, bagaimana sebenarnya batasan dan bentuk-bentuknya?
Jawab:
Secara literal, birr adalah sebutan untuk semua kebaikan, kebalikan dari ‘aqq (jamaknya ‘uqûq); sedangkan mabrûr adalah sebutan untuk birr yang dilakukan. Misalnya haji mabrûr, maksudnya adalah haji yang tidak tercemar dengan dosa sekecil apapun, atau perkara yang diharamkan.
Karena itu, birr al-wâlidayn dapat didefinisikan sebagai: semua bentuk kebaikan untuk menaati kedua orangtua. Makna “semua bentuk kebaikan untuk menaati keduanya” itu tidak lain adalah dengan melaksanakan seluruh perintahnya dan tidak pernah membantahnya. Sebab, dengan membantahnya akan membuat mereka marah, dan kemarahan mereka menyebabkan kemurkaan Allah. Rasulullah saw. bersabda:
«رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ»
Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan orangtua, kemurkaan Allah juga bergantung pada kemurkaan orangtua. (HR Ibn Hibban dan al-Hakim).
Karena itu, hukum birr al-walidayn ini adalah wajib; bahkan termasuk di antara bentuk kewajiban terdepan di antara kewajiban-kewajiban yang lain. Birr al-walidayn ini tentu tidak akan terwujud kalau tidak disertai dengan akhlak yang baik kepada kedua orangtua. Misalnya, ketika berbicara dengan mereka tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka; tidak menatap mata, termasuk wajah mereka, tetapi menundukkan muka dan pandangan di hadapan mereka. Ketika melaksanakan keinginan mereka, harus segera, baik diminta atau tidak, apalagi jika diminta oleh mereka; termasuk mengupayakan apa saja yang mereka butuhkan. Jika hendak meninggalkan mereka, tentu tidak akan meninggalkannya, kecuali sepengetahuan mereka. Sebab, kalau semua itu tidak dilakukan, niscaya mereka akan gelisah, cemas, dan khawatir.
Birr al-wâlidayn merupakan bentuk ketaatan yang bisa membuat kedua orangtua menjadi ridha, hatinya tenang dan bergembira. Karena itu, jika seorang anak melaksanakan perintah orangtuanya, tetapi dengan cara yang tidak membuatnya senang dan puas, maka apa yang dilakukan anak tersebut belum bisa dianggap birr al-wâlidayn. Inilah yang dipahami oleh orang Mukmin generasi awal. Bahkan cucu Nabi, al-Hasan, tidak berani makan di tempat yang sama dengan ibu dan ayahnya, karena khawatir akan mendahului mereka. Uways al-Qarni pun sanggup menggendong ibunya dalam jarak bermil-mil jauhnya, tidak lain karena pengabdiannya kepada orangtuanya. Subhânalâh!
Semua itu dilakukan dengan sempurna dan indah oleh generasi salaf shâlih karena mereka menyadari, bahwa kedua orangtua itu bisa menjadi surga dan neraka bagi mereka.[1] Mereka juga memahami Hadis Rasulullah saw., bahwa dengan birr al-wâlidayn itu umur dan rezeki mereka di dunia akan ditambah oleh Allah Swt.[2] Birr al-wâlidayn itu juga akan bisa menebus dosa dan kesalahan mereka, bahkan menjadi jaminan mereka masuk surga di akhirat kelak.[3]
Bentuk-bentuk birr al-wâlidayn itu bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu ketika orangtua kita masih hidup dan setelah mereka meninggal.
Pertama, ketika orangtua masih hidup, birr al-wâlidayn ini harus didahulukan ketimbang melakukan fardu kifayah. Sebab, birr al-wâlidayn ini hukumnya fardu ‘ain. Karena itu, birr al-wâlidayn harus didahulukan ketimbang pergi berjihad;[4] bahkan harus didahulukan ketimbang fardu ‘ain yang lain, seperti berhaji[5] atau memenuhi hak istri dan anak;[6] apalagi terhadap perkara sunnah ataupun mubah.
Namun demikian, meski sedemikian besar keharusan taat kepada mereka, tetap tidak boleh menaati keduanya dalam perkara maksiat; meskipun pada saat yang sama tetap wajib bersikap baik kepada mereka.[7]
Jika mereka masih hidup maka kita wajib melayani dan merawat mereka.[8] Apabila keduanya memberikan perintah yang berbeda, perintah ibulah yang harus didahulukan. Setelah itu, baru perintah ayah.[9] Kalau mereka mempunyai tanggungan, kita wajib membebaskan tanggungan mereka.[10] Begitu juga ketika mereka mempunyai nadzar, kita pun berkewajiban untuk menunaikannya.[11] Jika mereka akhirnya tidak berkesempatan naik haji, kita pun harus menghajikan mereka.[12] Bukan hanya itu, Rasulullah saw. juga mengajari kita, sebagaimana dituturkan Abdullah bin Amr, dengan sabdanya:
«أَنْتَ وَمَالُكَ لأَِبِيْكَ»
Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hubungan anak dan kedua orangtuanya juga harus senantiasa dibalut dengan doa;[13] anak harus senantiasa mendoakan kedua orangtuanya, dan orangtua juga harus senantiasa mendoakan anak-anaknya. Menjadi kebanggaan orangtua jika seorang anak menisbatkan namanya kepada orangtuanya, apalagi jika anaknya berhasil dan menjadi tokoh ternama. Itu akan menjadi kebanggaan dan sanjungan bagi orangtuanya. Karena itu, tidak boleh seorang anak menisbatkan namanya kepada orang lain, selain kepada orangtuanya.[14] Pada saat yang sama, anak pun tidak boleh mencemooh, atau mengolok-olok kedua orangtuanya;[15] betapapun bodoh dan kesalahan mereka.
Jika berjauhan dengan mereka, kita pun wajib menyambung silaturahmi dengan mereka, baik dengan menelpon mereka, mengirim surat kepada mereka, ataupun yang lainnya. Semua itu tidak lain untuk menjaga ketenangan hati mereka. Inilah bentuk-bentuk ketaatan kepada kedua orangtua selama mereka masih hidup.
Kedua, jika salah seorang di antara mereka, ataupun keduanya telah meninggal dunia, maka Islam telah mengajarkan bentuk-bentuk ketaatan tersebut, antara lain:
1. Menunaikan wasiat dan memenuhi janji mereka;
2. Mendoakan dan memintakan ampunan untuk mereka;
3. Menyambung hubungan dengan mereka, antara lain, dengan menyambung hubungan mereka dengan teman-teman mereka;
4. Bersedekah atas nama mereka dan untuk mereka;
5. Menunaikan ibadah haji atas nama dan untuk mereka;
6. Bergegas melakukan amal salih, sebagai anak salih yang pahalanya akan terus mengalir untuk mereka;
7. Menziarahi pusara mereka;
8. Tidak mencela dan mengungkit-ungkit keburukan mereka.
Inilah gambaran dan bentuk-bentuk ketaatan pada kedua orangtua yang harus dibangun dalam kehidupan keluarga Muslim. Dengan kehidupan seperti ini, mereka bukan saja akan menjadi keluarga yang tenang dan tenteram (sakînah) serta penuh kasih sayang (mawaddah wa rahmah), tetapi sekaligus akan menjadi keluarga yang tangguh, yang mampu menghasilkan gerenasi terbaik sebagaimana yang pernah dilahirkan para sahabat Rasulullah saw. Pada saat yang sama, mereka pun akan menjadi tim yang tanggung dalam mengemban dakwah. Wallâhu Rabb al-Musta‘ân, wa ilayhi at-takilân. []
[1] HR Ibn Majah dari Abu Umamah.
[2] HR Ahmad dari Anas; HR al-Hakim dari Muadz bin Anas.
[3] HR Ahmad dan al-Hakim.
[4] HR al-Hakim, al-Mustadrak, II/104.
[5] HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
[6] HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibn Umar; HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar.
[7] HR Ahmad dan QS al-Ankabut: 08.
[8] HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
[9] Muhammad Nur, Manhaj at-Tarbiyyah an-Nabawiyyah li at-Thifl ma’a Namâdzuj at-Tathbîqiyyah min Hayâh as-Salaf as-Shâlih, hlm. 162.
[10] HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibn Majah.
[11] HR Ibn Huzaymah dari Abu Hurairah.
[12] HR Ibn Huzaymah dari Ibn Abbas.
[13] HR Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Hurairah.
[14] HR al-Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash.
[15] HR Abdurrazzaq dalam Mushannaf, XI/138.
Komentar