Seputar Bid'ah

Bid‘ah

Bid‘ah Menurut Bahasa


Bid‘ah berasal dari kata bada’a- yabda‘u-bad‘an wa bid‘at[ah] yang artinya adalah mencipta sesuatu yang belum pernah ada, memulai, dan mendirikan. (Kamus al-Munawir, hlm. 65).


Bada‘a asy-syay‘a, artinya, Dia menciptakan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada. Ibn as-Sikît berkata, bid’ah adalah setiap hal baru yang diada-adakan. (Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, 8/6).


Al-Bida‘u adalah bentuk plural dari bid‘ah, yaitu segala sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. (Ibn Hajar al-’Ashqalani, Fath al-Bâri, 13/278).


Jadi, secara bahasa bid‘ah adalah setiap hal baru yang dilakukan, yang belum ada contoh sebelumnya, tanpa membedakan apakah terpuji atau tercela. Contoh bid‘ah secara bahasa ini adalah perkataan ‘Umar ketika mengomentari pelaksanaan shalat tarawih secara berjamaah di masjid:


Sebaik-baik bid‘ah adalah ini.

Bid‘ah Menurut Syariat

Jabir bin Abdullah menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:


Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah dan petunjuk yang paling baik adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah hal baru yang diada-adakan; setiap hal baru yang diada-adakan adalah bid‘ah; setiap bid‘ah adalah sesat; dan setiap kesesatan (pelakunya dijebloskan) di neraka (HR an-Nasa‘i).


Irbadh bin Sariyah menuturkan bahwa Rasulullah saw. juga pernah bersabda:


Jauhilah oleh kalian perkara-perakra baru yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat. (HR Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah).


Berikut adalah pendapat beberapa ulama tentang bid‘ah:


1. Imam asy-Syafi‘i: al-Muhdatsah (sesuatu yang diada-adakan) yang menyalahi al-Kitab, as-Sunah, atau Ijma Sahabat merupakan bid‘ah yang sesat (dhalâlah). (Muhammad al-Khathîb asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj, 4/436).

2. As-Suyuthi, Abdul Ghani, dan Fakhruddin al-Hasan Dahlawi: Muhdatsât adalah bentuk plural dari muhdatsah, yaitu apa saja yang tidak dikenal di dalam al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijma Sahabat (Syarh Sunan Ibn Mâjah, 1/6).


3. Izzuddin bin Abdussalam: Bid‘ah adalah perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw. (Abdussalam, Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-‘Anâm, 2/204).


4. Ibn Hajar al-’Ashqalani dan Ibn Rajab al-Hanbali: Bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar syar‘i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai dasar syar‘i maka ia tidak termasuk bid‘ah (Fath al-Bâri, 13/253; Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hukm, 1/266).


5. Ibn Taymiyyah: Bid‘ah adalah apa saja yang menyalahi nash-nash syariat (Kutub wa Rasâ‘il wa Fatâwâ Ibn Taymiyyah fî al-Fiqh, 20/163).


6. Ibn Hajar al-Haytsami: Bid‘ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang menyalahi ketentuan syariat dan dalil-dalilnya, baik yang khusus maupun umum, (At-Tabyîn bi Syarh al-Arba‘în hlm. 221).


7. Asy-Syatibi: Bid‘ah adalah tharîqah (tatacara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang berhadapan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya berperilaku dan beribadah secara maksimal kepada Allah Swt. (Al-I‘tishâm, 1/127).


8. Abdur Ra‘uf al-Manawi: Bid‘ah adalah perbuatan yang menyalahi as-Sunah, (At-Ta‘ârif, 1/118).


Sementara itu, dalam nasyrah soal-jawab Hizbut Tahrir mengenai bid‘ah dinyatakan bahwa bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yakni setiap perbuatan yang menyalahi syariat. Perbuatan semacam inilah yang termasuk dalam sabda Rasul saw.:


Siapa saja yang melakuakn suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam agama kami adalah tertolak. (HR al-Bukhari dan Muslim).


Hanya saja, tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau tidak ada pada masa Nabi saw. pasti bid‘ah. Terdapat banyak perbuatan yang sebetulnya didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum. Perbuatan-perbuatan baru semacam ini tidak disebut sebagai bid‘ah. Contoh: mempelajari teknologi nuklir, kimia, komputer, dan sebagainya. Semua itu termasuk dalam cakupan dalil-dalil tentang menuntut ilmu. Demikian juga seperti bepergian untuk bersenang-senang, menetapkan mahar berupa kitab, membangun tempat azan (menara) masjid, menerangi masjid dengan listrik, memakai pengeras suara, dan lain-lain.

Memang, semua itu tidak dijelaskan oleh syariat (secara eksplisit); juga belum ada pada masa Rasul dan para sahabat. Namun, semuanya termasuk ke dalam cakupan dalil-dalil yang bersifat umum. Ibn Hajar al-Ashqalani menyatakan, “Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam syariat yang menunjukkannya tidaklah termasuk bid‘ah. (Fath al-Bâri 13/253).

Ibn Abdul Barr juga mengatakan bahwa membuat perbuatan baru yang termasuk ke dalam perbuatan-perbuatan dunia adalah mubah, (Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf az-Zarqani, Syarh az-Zarqânî, 1/340).

Walhasil, bid‘ah adalah perbuatan yang menyalahi ketentuan syariat. Ini tidak berlaku untuk semua jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan tatacara (kayfiyah) pelaksanaannya oleh syariat. Seorang Muslim wajib untuk melaksanakan suatu perbuatan sesuai dengan tatacara yang telah ditentukan oleh syariat itu. Jika ia menyalahi ketentuan tatacara itu maka ia telah melakukan bid‘ah.

Jika diteliti dan dianalisis akan jelas bahwa syariat tidak membatasi tatacara (kayfiyah) pelaksanaan perbuatan kecuali hanya dalam masalah ibadah (di luar jihad). Selain dalam masalah ibadah, syariat tidak membatasi tatacara, melainkan hanya menentukan tatacara pengelolaan/tindakan (tasharrufât)-nya. Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan oleh syariat tidak disebut bid‘ah, tetapi bisa haram atau makruh, sesuai dengan penunjukkan dalil larangannya. Perusahaan saham (PT), misalnya, bukanlah bid‘ah, hanya saja ia haram. Memerangi orang kafir yang belum pernah tersentuh dakwah tanpa didakwahi terlebih dulu tidak disebut sebagai bid‘ah, tetapi tidak boleh.

Sementara itu, dalam hal jihad, sekalipun hal itu adalah perbuatan, syariat tidak menentukan tatacaranya, melainkan hanya menentukan perkara-perkara yang berkaitan dengannya. Karena itu, dalam jihad tidak dikatakan adanya bid‘ah dan bukan bid‘ah.

Lain hanya dalam hal ibadah. Syariat telah menentukan tatacara tertentu yang harus dilaksanakan. Menyalahi tatacara ini dalam ibadah adalah bid‘ah dan karenanya haram. Contoh: azan adalah ibadah dan syariat telah menentukan tatacaranya. Menambahkan satu kata saja ke dalam lafal azan adalah bid‘ah. Sedangkan tatacara menyuarakannya apakah dengan suara keras melengking atau merdu bukanlah bid‘ah, karena syariat tidak menentukannya secara pasti. Contoh lain adalah berdoa. Terdapat hadis bahwa Rasulullah mengangkat kedua tangan ketika berdoa.[1] Ini adalah tatacara spesifik dalam berdoa. Karena itu, siapa saja yang berdoa mengangkat tangan, tetapi tidak mengikuti cara Rasulullah saw., misalnya dengan mengangkat satu tangan, sedangkan dia menerima kehujahan hadits berdoa mengangkat kedua tangan di luar shalat istisqa’, maka dia telah melakukan bid’ah. Berbeda dengan orang yang berdoa tanpa mengangkat kedua tangan, statusnya tidak bisa dikatakan bid‘ah, baik yang menerima kehujahan hadits mengangkat kedua tangan ataupun tidak dalam berdoa. Sebab, orang yang tidak mengangkat kedua tangan tersebut tidak dianggap menyimpang dari tuntunan, tetapi tidak melaksanakan tuntunan. Menyimpang dari tuntunan adalah jika tuntunan tersebut dilaksanakan, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan penuntunnya. Sama dengan orang yang mengangkat kedua tangan dalam takbirat al-ihram, orang tersebut bisa dianggap mengikuti tuntunan; jika cara mengangkat tangannya berbeda dengan cara Nabi, maka bisa dianggap bid’ah, karena menyalahi tuntunan. Berbeda dengan orang yang tidak mengangkat kedua tangannya, tidak bisa disebut melakukan bid’ah, sebab dia tidak mengambil tuntutunan mengangkat tangan, sehingga tidak dianggap menyimpang.[2]

Melaksanakan suatu perbuatan dengan menyalahi tatacaranya yang telah ditentukan syariat itulah bid‘ah. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.

[1] H.r. Muslim, Bab Raf’u al-Yadayn bi ad-Du’a’ fi al-Istisqa’, hadits no. 895; Anas berkomentar, bahwa Nabi saw. tidak pernah berdoa dalam hal apapun dengan mengangkat tangan, kecuali dalam shalat istisqa’ hingga tampak putihnya kedua ketiak beliau. Dalam riwayat al-Bukhari, dinyatakan bahwa Abu Musa al-Asy’ari menyatakan bahwa Nabi saw. berdoa dengan mengangkat kedua tangan beliau, sehingga dia melihat putihnya kedua ketika beliau. Dalam riwayat at-Thabrani, dengan sanad yang hasan, telah dinyatakan bahwa Nabi pernah mendoakan ‘Utsman dengan mengangkat kedua tangan beliau. Hadits yang sama, dinyatakan lemah oleh al-Haytsami dalam Majma’ az-Zawa’id, karena terdapat Sa’id bin Muhammad al-Warraq, yang disebutnya sebagai orang yang lemah haditsnya. Kesimpulannya, berdoa mengangkat tangan dalam shalat istisqa’ tidak ada perselisihan, karena haditsnya dinyatakan sahih hampir oleh semua ahli hadits. Sedangkan berdoa dengan mengangkat tangan di luar shalat bisa disimpulkan, jika haditsnya dianggap hasan, dan karena itu boleh dijadikan dalil, maka ini tidak bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Anas. Sebab, boleh jadi Anas tidak mengetahui peristiwa ini, dan dalam kasus yang kedua ini Anas pun bukan sebagi saksi langsung, sehingga pernyataan Anas tidak bisa menggugurkan apa yang diketahui oleh saksi peristiwa yang kedua. Namun, bagi yang menganggap hadits tersebut lemah, maka orang tersebut tidak boleh menggunakannya sebagai dalil.

[2] Lihat, Nasyrah Bid’ah yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, hal. 44.

Komentar

aziz miring mengatakan…
aduh kl ngomongin bid'ah g selesai"....

masing" punya pegangan

Postingan Populer